Kamis, 11 Februari 2010

Jerat Birahi Bude Lina

      Setelah lulus SMA, aku disuruh orang tuaku untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Orang tuaku ingin sekali mempunyai anak yang punya titel sarjana. Tapi aku sendiri tak ingin melanjutkan kuliah di daerah tempat tinggalku, aku ingin sekali kuliah di Bandung atau Jakarta. Hitung-hitung kuliah dan cari pengalaman di luar daerah tempat tinggalku.
Orang tuaku setuju dengan ide ku untuk tinggal di Jakarta dan kuliah di sana, kebetulan ada Pakdeku yang sudah lama menetap di Jakarta. Dengan tekad dan keyakinan akan berhasil dengan membawa ijazah sarjana, aku berangkat dari terminal antar kota daerah ku.Meski merasa tak tega meninggalkan kedua orang tuaku, kucoba menguatkan niat.
      Sampai di Jakarta, hari itu sudah menjelang sore. Aku naik taksi mencari rumah Pakdeku yang begitu jauh dari terminal. Badanku serasa pegal-pegal karena selama berjam-jam duduk di bus antar kota. Baru sekali ini aku ke Jakarta, belum tahu persis arah jalan di Jakarta, untung supir taksi yang membawaku cukup berbaik hati mengantarkan sampai ke alamat yang kutuju.
Ternyata rumah Pakdeku sangat besar dengan perkarangan yang luas serta mobil yang terparkir di garasi, menandakan kesuksesan yang sudah dicapai oleh Pakdeku di Jakarta. Aku diterima dan dipersilahkan masuk oleh seorang wanita setengah baya, yang ternyata adalah pembantu rumah tangga dari Pakdeku.
     " Hebat Pakde Atmo ini, rumahnya besar dan sangat megah," aku bergumam sendiri dalam hati. Sementara pemandanganku terus berputar mengelilingi setiap sudut rumah itu. Sedang asyik melihat-lihat, aku jadi kaget ketika ada suara laki-laki memanggilku.
      " Hei, apa khabar Budi ?" 
        Aku mengalihkan pemandangan ke arah suara itu. Laki-laki itu tidak lain adalah Pakde Atmo.
      " Baik-baik aja Pakde," jawabku singkat.
      " Kamu disuruh ayahmu ?" Bagaimana khabar keluarga disana ?"
      " Baik juga Pakde, aku disuruh kuliah di Jakarta dan sementara tinggal dengan Pakde.." jawabku sambil memberikan sepucuk surat dari ayahku yang dititipkan sebelum aku berangkat. Lalu surat itu dibuka oleh Pakde Atmo dan dibacanya. Entah dari mana datangnya, seorang perempuan cantik tiba-tiba sudah ada di hadapan kami .
      " Siapa ini ..'pa ?" tanya perempuan itu sambil melihat ke arahku.
      " Oh ini, saudara kita dari Solo, mau kuliah di Jakarta," ujar Pakde Atmo.
      " Bud, ini Budemu, istri Pakde," katanya memperkenalkan istrinya kepadaku.
        Aku agak sedikit terkejut. Soalnya, setahuku Pakde Atmo tidak menikah lagi setelah ditinggal mati oleh istrinya. Barangkali Pakde Atmo tidak sempat memberitahukan kepada kami pada saat ia menikah lagi. Dalam hati aku bergumam, tak pantas rasanya wanita ini menjadi istri Pakde Atmo. Umurnya jauh berbeda dengan umur Pakde. Dia lebih muda dan sangat cantik, pantasnya Budeku ini menjadi anak Pakde.
       " Jadi begini Ma," ujar Pakde, " Budi ini mau kuliah di sini, dan kalau bisa dan mendapat ijin dari mama, dia akan tinggal di rumah kita".
       " Itu sih terserah papa aja. Mama tentu setuju," jawab Bude Lina. Itu membuat hatiku lega.
     
      Malam itu kami saling menumpahkan kerinduan. Karena hampir lima tahun Pakde Atmo tidak pulang ke Solo karena kesibukannya di Jakarta. Singkat cerita, malam itu aku sudah menjadi bagian dari keluarga di sini, dan kebetulan Pakde ku ini tidak memiliki anak dari istri pertamanya dan juga istrinya yang sekarang. Sehingga dengan adanya aku di keluarga mereka, aku sangat diperhatikan terutama sekali oleh budeku yang muda dan cantik.
        Waktu terus bergulir dengan cepat. Tak terasa sudah hampir 6 bulan aku tinggal di rumah Pakde Atmo. Selama 6 bulan itu, aku banyak tahu tentang keadaan dan situasi di rumah Pakde Atmo.
Ternyata Pakde Atmo jarang sekali berada di rumah. Aku selalu berpikir, apa sih yang dikejar hingga Pakde Atmo menghabiskan waktu untuk kerja di kantor, tidak punya waktu dirumah, padahal harta sudah cukup dan istri pun sangat cantik menunggu di rumah.
        Selama aku tinggal di Jakarta, aku mempunyai teman dekat di kampusku, namanya Tanti, Suatu saat tanpa kuduga sebelumnya, Tanti berkunjung ke rumah. Kebetulan ketika itu hanya ada aku dan Bude Lina di rumah. Sedangkan Pakde Atmo sudah hampir dua minggu belum pulang juga. Katanya Pakde Atmo pergi ke Kalimantan untuk urusan kantor dan ada proyek besar di sana.
Anehnya, kedatangan Tanti disambut oleh Bude Lina dengan wajah yang tidak menyenangkan. Tanti merasa agak kecewa dengan tanggapan Bude Lina yang cemberut itu. Lebih lagi ketika aku ingin mengantar Tanti pulang, wajah Bude Lina tambah masam sehingga aku sendiri mengurungkan niatku.
        " Siapa cewek itu Bud?" tanya Bude Lina dengan ketusnya.
        " Ooh, itu tadi teman kuliah ku di kampus," aku menjelaskan. Saat itu Bude Lina tidak bertanya lagi dan dia malah langsung masuk ke kamarnya. Aku jadi heran dengan sikap Bude Lina.
Aku termenung sendiri dalam kamar, kenapa Bude Lina bersikap seperti itu. Sampai aku tidak sadar kalau waktu sudah malam. Selesai aku menyeleaikan tugas kuliahku di dalam kamar, aku beranjak ke kamar mandi sekedar mencuci muka seperti biasa bila hendak berangkat tidur.Tapi ketika aku melewati ruang tengah, aku terkejut melihat Bude Lina ternyata masih duduk di ruang tengah sendirian sambil menonton TV.
Dia memandangku sebentar. Kemudian aku masuk ke kamar mandi. Baru saja aku hendak kembali ke kamar, dia memnaggil pelan.
        " Bud, kesini sebentar," kata Bude Lina memanggilku.
        " Duduk Bud."
          Aku  kemudian duduk berhadapan dengannya.
        " Ada perlu apa Bude?" 
        " Kamu belum tidur?"
        " Belum Bude," kataku santai
        " Maksud Bude, aku mau ngajak kamu temenin Bude ngobrol di sini. Malam ini rasanya sepi sekali."
        " Bude belum ngantuk?" tanyaku berbasa-basi.
        " Malam ini Bude susah tidur, mata Bude susah sekali dipejamkan."
        " Ya mungkin saja lagi rindu sama Pakde Atmo, " aku mencoba menggodanya.
        " Ach...bisa saja kamu Bud, " Bude Lina tersenyum memandang wajahku. Aku menundukan kepala karena aku malu dipandangnya.
        " Tapi , maaf lho Bude, memang rasanya rumah ini begitu sepi ya.." aku mencoba mencairkan suasana.
        " Kamu, Bud, juga merasakannya ya?"
         Aku hanya diam. Bude Lina memandangku dengan pandangan tajam, membuat aku tidak berani menatapnya. Perlahan Bude Lina bangkit dari duduknya dan menghapiriku. Aku kaget setengah mati ketika tangannya memegang pundakku dari belakang. Bukan itu saja yang dia lakukan, bahkan dia memelukku dari belakang. Aku jadi salah tingkah dibuatnya.
        " Jangan begitu Bude," kataku gemetar karena baru pertama kali ini aku dipeluk oleh seorang wanita. Aku mencoba melepaskan tangannya.
        " Jangan Bude, nanti kalau dilihat si mbok bisa berabe."
        " Dia kan sudah tidur pulas," terdengar nafas Bude Lina seperti seekor kuda betina yang sedang berpacu, terasa hangat meniup wajahku. Aku seperti budak saja pada malam itu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Namun aku tetap sadar. Dengan lembut aku mencoba melepaskan pelukannya itu. Segera aku berdiri dan sesaat kemudian aku memandang wajah Bude Lina. Kulihat perasaan kecewa dari sorot matanya.
        " Maafkan saya Bude. Saya telah mengecewakan Bude."
          Bude Lina tak berkata apa-apa lagi. Dia melangkah masuk ke dalam kamarnya. Malam itu perasaan ku menjadi kacau dan tidak menentu, sehingga aku susah tidur. Aku gelisah membayangkan kejadian barusan. Hampir saja aku khilaf, aku tidak tahu apa yang bakal terjadi. Padahal, sejujurnya aku juga merasa kecewa. Entah kecewa karena apa. Sikap Bude Lina begitu lembut, masih tetap terbayang.
          Esok harinya aku kembali masuk kuliah. Sebelum berangkat, terlebih dahulu aku memberitahu Bude bahwa mungkin aku pulang agak malam.
        " Saya berangkat dulu Bude, mungkin pulangnya agak malam karena ada kegiatan di kampus."
        " Iya, hati-hati ya Bud," katanya dengan senyum yang mempesona. Aku segera melangkahkan kakiku menuju jalan. Tak kuat aku lama-lama memandang wajah Bude Lina yang melankolis.
          Ketika pulang agak larut malam itu, rumah tampak sepi sekali. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangaku, ternyata sudah pukul sebelas malam. Aku segera masuk ke dalam rumah. Di ruangan tengah lampu hanya remang-remang. Langkahku terhenti ketika pemandanganku terbentur sosok tubuh Bude Lina di sofa. Perlahan aku mendekatinya. Nafasku terasa turun naik ketika aku melihat paha putih Bude Lina yang terangkat keatas. Karena baju tidur yang dipakainya sangat tipis sehingga aku melihat sangat jelas dia tidak memakai bra dan juga tidak memakai celana dalam. Jantungku mendadak berdebar sangat kencang. Tubuhku gemetar tidak menentu ketika menyaksikan pemandangan yang begitu indah dan menakjubkan. 
Aku mencoba membangunkan Bude Lina yang tampak terlelap. Namun niatku untuk membangunkan kuurungkan. Tubuhku tambah gemetar tidak karuan. Akhirnya kubiarkan saja Bude Lina tetap tertidur di sofa tersebut. 
            Baru saja aku hendak meninggalkannya untuk satu langkah ke depan, tiba-tiba tanganku disambar Bude Lina dan menarikku ke arahnya. Aku kaget setengah mati. Sambil membalikkan tubuhku, kulihat Bude Lina memandangku dengan senyum yang menawan. Perlahan dia menarik tanganku hingga aku lebih dekat lagi dengannya. Akhirnya aku rebah diatas tubuh Bude Lina. Dan, sebelum aku sempat bereaksi apa-apa, Bude Lina sudah menarik kepalaku ke arahnya lalu mengulum bibirku dengan penuh nafsu.
Bude Lina menciumku dengan mengebu-gebu dan bertubi-tubi, hingga aku sendiri tidak bisa berkata apa-apa.
Sesaat kemudian, ciuman-ciuman Bude Lina mampu membuatku melambung ke angkasa. Selanjutnya, tidak cuma Bude Lina yang mencium bibirku, aku pun sudah membalas mencumbunya. Bude Lina merintih dan mendesah. Justru rintihan dan desahan Bude Lina itu yang membuat nafsu birahiku melambung naik ke kepala, hingga akal sehatku sudah tidak jalan lagi. Yang ada adalah letupan nafsu birahi yang dasyat.
           Maka, hal yang kutakutkan itu pun akhirnya terjadi begitu saja. Aku sudah melanggar pagar ayu, Budeku yang mestinya kujaga ketika Pakde sedang berada di luar kota. Apa yang harus dikata ?
Semua sudah terlanjur terjadi. Sesaat kemudian, Bude Lina menatapku dekat sekali. " Kamu luar biasa, Budi. Luar biasa, Bude bahagia sekali......."
           Aku mencium kening Bude Lina. Dia membalas mencium bibirku, lembut. Aku menyambutnya. 
Malam itu, kami menyelesaikan lima ronde hingga menjelang pagi. Bude Lina tersenyum-senyum setelah menerima kepuasan bathin dariku. Dan sepertinya hasrat Bude Lina pada malam itu benar-benar terkabul sepenuhnya, setelah sekian lama tidak tersentuh oleh tangan laki-laki.
           Hari-hari selanjutnya, kami isi dengan permainan cinta yang membara. Setiap ada kesempatan, kami selalu melewatkannya dengan bercinta. Di kamar Bude, di kamarku, di dapur, di kamar mandi, di ruang tamu, bahkan di garasi pun kami lakukan hal itu.Bude Lina sekarang kelihatan cerah sekali wajahnya. Apakah itu berarti diriku telah membahagiakan Bude Lina ? Aku sendiri kemudian sulit keluar dari jeratan cinta membara yang diberikan Bude Lina. Karena setiap kali Bude Lina mengajakku untuk memuaskan nafsunya itu, aku tidak bisa dan tak mau menolaknya. Aku sendiri sepertinya sudah terjebak ke dalam kobaran api cinta yang gila dan aku menikmatinya. Tidak hanya di rumah kami melakukannya. Kami bahkan sekali-kali sengaja melakukannya di hotel.
            Lama kelamaan, aku merasa tak bisa lagi dipisahkan dari Bude Lina. Sementara Bude Lina sendiri mengaku sudah jatuh cinta kepadaku. Kami seakan sudah tak bisa terpiahkan lagi. Padahal, Bude Lina adalah istri Pake Atmo, Oom ku sendiri. 
          Sampai pada akhirnya, aku lulus kuliah dan Pakde Atmo hampir mengetahui perbuatan kami. Aku pun sadar dan memilih meninggalkan Bude Lina yang kucintai, untuk mencari kehidupan baru dengan alasan untuk mencari kerja dan hidup mandiri.
          Sekarang, aku bekerja di Jakarta, kenangan dengan Bude Lina tak dapat aku lupakan karena inilah pengalaman pertamaku dalam bercinta.
          Bagi pembaca, khususnya wanita, tante atau yang lainnya, kritik dan saran serta pengalaman hidup sekiranya dapat berbagi denganku.

Selesai.. 

1 komentar:

[Valid Atom 1.0]